Cinderella Dari Kota (CERPEN)
Namanya Munarti. Gadis yang dulu suka memakai pita merah di kepala dengan setelan warna merah hingga bawah lututnya, dia adalah salah satu makhluk ciptaan tuhan yang paling ku puja (tentunya di bawah ibuku sendiri)
Kabar-kabar dari ibu-ibu pasar yang mulai membicarakannya saat dia sudah kembali ke desa untuk pulang kampung dan berkumpul bersama keluarganya. Aku ingat mereka dulu bukan golongan keluarga yang ‘cukup’, tapi keluarga yang serba kekurangan, tak jarang penjual sayur keliling selalu mengeluh setiap kali Bu Dono (ibunya Munarti) datang dan belanja, karena yang diingat hanya hutang-hutang yang belum dibayarkan.
Aku mendengar ibu-ibu itu membicarakannya. Sedikit demi sedikit informasi baru muncul, dari rumah besar dan kekayaan yang sangat besar. Tapi ada juga gossip yang menurutku dibuat-buat, mulai dari pesugihan hingga simpanan pejabat negara.
Yang aku tahu sekarang, namanya berubah jadi Marta. Aku tidak ingat nama lengkap barunya, yang kuingat hanya satu kata itu, tapi aku lebih suka panggilannya dulu: Mumun. Panggilan yang selalu diingat warga desa karena penampilannya yang menarik sekaligus gaya jalannya yang sedikit loncat. Aku mengingatnya sebagai gadis yang riang dan selalu tersenyum.
Senyum manisnya, dan tatapan mata sipitnya yang tersipu malu saat dia melihatku di dalam kelas, bersama gerombolan teman-temannya yang tidak lebih cantik daripada dia. Aku ingat keindahan rambut lurusnyanya hitam dan tersisir halus seperti baru saja disisir 1000x, dan aroma khasnya saat aku lewat di depannya. Aroma bunga melati yang menusuk mulus di penciumanku.
Setiap hari, aku selalu menunggu sosoknya hadir di sekolah, tidak ada sekolah yang paling buruk di desa ini, tapi sekolah ini benar-benar bobrok dan hampir roboh karena sudah lama tidak diperbaiki. Kadang aku menunggunya lewat di depan kelas, menunggu gerombolannya lewat, dan aku bisa mencium aroma melati itu.
Dengan sedikit gaya kekinianku pada waktu itu: seragam putih yang ku keluarkan, celana panjang abu-abu di atas mata kaki, di tambah jaket kulit warna hitam, lalu kaca mata hitam dengan batangan emas. Aku maha keren waktu itu… ya, waktu itu, kalau dipikir-pikir sekarang, aku dulu terlihat seperti orang buta yang menawarkan villa. Duh.
Setiap kali dia lewat, aku melemparkan senyum. Dia membalas dengan senyum malunya. Hingga lulusan sekolah, aku belum berani berteman dengan dia, karena dia anak IPA, dan aku anak IPS. Perbedaan kasta yang benar-benar memisahkan pergaulan dan takdir kami (yang bisa jadi berakhir menikah).
Ah, masa-masa sekolah yang indah. Tapi setelah itu, kami jarang bertemu, mungkin hanya sesekali ketika dia lewat di depan pasar.
“Eh… ada Jono.”, Munarti membuyarkan lamunanku, dia sekarang ada di kumpulan ibu-ibu yang mengelilingi tukang sayur, sementara aku berada di atas motor Honda CB yang kotor karena lumpur tadi pagi.
Aku tak bisa berkata-kata. Aku merasa sedikit malu dan mencoba untuk tidak terlihat bodoh di depannya. Aku tersenyum balik.
“Mumun… eh,maksudku… Munarti. Eh, Marta!”, aku terlihat bodoh.
Dia berceloteh tentang masa-masa di sekolah yang baru saja aku pikirkan tadi.
Aku melihat penampilannya hari ini. Kalung-kalung emasnya menjutai bak rantai yang membelit di lehernya dan pantulan sinar dari gelang-gelangnya, lalu baju seksi mini setengah paha dan belahan dada yang hampir telihat, di balut dengan jaket rajutan tipis yang tembus pandang, lalu lukisan di kelopak matanya mengalihkan duniaku, aku terjatuh ke dunia baru itu, bukan ke dunia yang lebih indah ketika waktu aku jatuh cinta ke dia, tapi ke dunia yang benar-benar asing dan horor, dunia lain. Aku sedikit merasakan aura lain yang berbeda dengan aura Mumun yang dulu.
“Sekarang kamu kerja apa?”, dia bertanya santai.
Aku berasa seperti baru ada peluru yang melewati kepalaku. Pertanyaan yang selalu ditanyakan teman-temanku yang sudah sukses dan balik ke kampung.
“Lagi gak kerja, Mun, eh… Marta.”, untuk kedua kalinya aku terlihat bodoh, dan pengangguran. Percakapan ini berubah menjadi canggung karena sikapku sendiri yang sama sekali tidak mencoba menbuka percakapan.
Dia lalu mengeluarkan uang dari dompet merahnya yang besar lalu membayar belanjaan sayurnya.
“Ya udah ya, aku ke sana dulu.”, senyumnya mengakhiri perbincangan singkat, dia berlenggok pergi, meninggalkan senyum yang sama sekali tidak ku kenal seperti senyum Mumun yang dulu.
Dia baru saja pulang dari kota, dan semua orang desa membicarakannya.
Tragis sekali hidupnya. Mumun di kirim oleh orangtua-nya untuk kerja ke Jakarta dan bekerja menjadi pembantu rumah tangga, tapi yang menjadi pembicaran orang desa bukan itu, ada yang lain. Akhirnya, dia dijual oleh majikannya sendiri, ke sebuah tempat pelacuran terbesar di kota Jakarta, lalu salah satu orang desa ada yang melihat Mumun menawarkan dirinya di pinggir jalan. Awalnya Mumun tidak mengaku namanya sendiri, tapi orang desa itu dengan cerdasnya secara sembunyi-sembunyi kembali dan memfoto wajah Mumun. Benar saja, itu Mumun. Tapi anehnya, orangtua-nya tidak marah atau terlihat sedih, dan warga desa yang khawatir mulai membicarakn topik ini sampai sekarang, padahal kejadian itu sudah 7 tahun yang lalu.
Sejak itu namanya diganti jadi Marta, dari KTP hingga Kartu Keluarga, alasannya sederhana: untuk kelancaran pekerjaannya di Jakarta. Mungkin memang benar, dia sukses dengan pekerjaannya.
Dia sekarang kaya.
Berliannya dimana-mana, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Penampilannya tidak sesederhana dulu, dari pita merah di kepalanya berubah menjadi sepatu mengkilat bak sepatu kaca Cinderella.
Sepatu kaca yang menyimpan nasib miris seorang Mumun, perjalanan yang berat bagi seorang perempuan untuk menjadi seorang wanita dewasa, seorang Cinderella yang diidam-idamkan banyak pria.
Dia bukan lagi Mumun yang aku cinta, dia Marta.
Cinderella yang bersinar di kegelapan penuh dengan dosa, dan baru saja pulang dari kota.
Selamat datang kembali, Mun.
Eh, maksudku Marta.
0 komentar