• Beranda
  • Tentang Saya
  • Karya
    • Novel
    • Cerpen
    • Puisi
    • Musik
  • Shop
    • Digital
    • Fisik
  • Kontak
Twitter Facebook Instagram

Rahmad Kurniawan






Ia mencari hidupnya dari masa lalu yang datang sepotong. Antara nyata dan tidak, realitas yang pernah ia alami tidak akan pernah berbohong. Pertemuannya dengan Wisnu Atmaja (Pengkor) dan perjanjiannya membuatnya semakin yakin akan asal-usul tentang siapa dirinya. 

Di mana kah kebenaran berada dan siapa kah Nenek yang merawatnya? Hingga kekuatan mengendalikan api yang ia miliki sekarang. Siapa kah musuh yang sebenarnya?

--

Sebuah karya fan-fiction yang terinspirasi dari salah satu karakter Bumi Langit, Dewi Api.  Yang akan diperankan oleh Dian Sastro. Menyambut tayang dan suksesnya film Bumi Langit Universe pertama, Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot yang disutradai oleh Joko Anwar. 


Baca gratis di: 

- Wattpad: 
http://bit.ly/dewiapi

- Storial: 
http://bit.ly/dewiapistorial

- MangaToon:
http://bit.ly/dewiapiMT

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Namanya Munarti. Gadis yang dulu suka memakai pita merah di kepala dengan setelan warna merah hingga bawah lututnya, dia adalah salah satu makhluk ciptaan tuhan yang paling ku puja (tentunya di bawah ibuku sendiri)

Kabar-kabar dari ibu-ibu pasar yang mulai membicarakannya saat dia sudah kembali ke desa untuk pulang kampung dan berkumpul bersama keluarganya. Aku ingat mereka dulu bukan golongan keluarga yang ‘cukup’, tapi keluarga yang serba kekurangan, tak jarang penjual sayur keliling selalu mengeluh setiap kali Bu Dono (ibunya Munarti) datang dan belanja, karena yang diingat hanya hutang-hutang yang belum dibayarkan. 

Aku mendengar ibu-ibu itu membicarakannya. Sedikit demi sedikit informasi baru muncul, dari rumah besar dan kekayaan yang sangat besar. Tapi ada juga gossip yang menurutku dibuat-buat, mulai dari pesugihan hingga simpanan pejabat negara. 

Yang aku tahu sekarang, namanya berubah jadi Marta. Aku tidak ingat nama lengkap barunya, yang kuingat hanya satu kata itu, tapi aku lebih suka panggilannya dulu: Mumun. Panggilan yang selalu diingat warga desa karena penampilannya yang menarik sekaligus gaya jalannya yang sedikit loncat. Aku mengingatnya sebagai gadis yang riang dan selalu tersenyum. 

Senyum manisnya, dan tatapan mata sipitnya yang tersipu malu saat dia melihatku di dalam kelas, bersama gerombolan teman-temannya yang tidak lebih cantik daripada dia. Aku ingat keindahan rambut lurusnyanya hitam dan tersisir halus seperti baru saja disisir 1000x, dan aroma khasnya saat aku lewat di depannya. Aroma bunga melati yang menusuk mulus di penciumanku. 

Setiap hari, aku selalu menunggu sosoknya hadir di sekolah, tidak ada sekolah yang paling buruk di desa ini, tapi sekolah ini benar-benar bobrok dan hampir roboh karena sudah lama tidak diperbaiki. Kadang aku menunggunya lewat di depan kelas, menunggu gerombolannya lewat, dan aku bisa mencium aroma melati itu.

Dengan sedikit gaya kekinianku pada waktu itu: seragam putih yang ku keluarkan, celana panjang abu-abu di atas mata kaki, di tambah jaket kulit warna hitam, lalu kaca mata hitam dengan batangan emas. Aku maha keren waktu itu… ya, waktu itu, kalau dipikir-pikir sekarang, aku dulu terlihat seperti orang buta yang menawarkan villa. Duh. 

Setiap kali dia lewat, aku melemparkan senyum. Dia membalas dengan senyum malunya. Hingga lulusan sekolah, aku belum berani berteman dengan dia, karena dia anak IPA, dan aku anak IPS. Perbedaan kasta yang benar-benar memisahkan pergaulan dan takdir kami (yang bisa jadi berakhir menikah). 
Ah, masa-masa sekolah yang indah. Tapi setelah itu, kami jarang bertemu, mungkin hanya sesekali ketika dia lewat di depan pasar. 

“Eh… ada Jono.”, Munarti membuyarkan lamunanku, dia sekarang ada di kumpulan ibu-ibu yang mengelilingi tukang sayur, sementara aku berada di atas motor Honda CB yang kotor karena lumpur tadi pagi.

Aku tak bisa berkata-kata. Aku merasa sedikit malu dan mencoba untuk tidak terlihat bodoh di depannya. Aku tersenyum balik. 

“Mumun… eh,maksudku… Munarti. Eh, Marta!”, aku terlihat bodoh. 

Dia berceloteh tentang masa-masa di sekolah yang baru saja aku pikirkan tadi. 

Aku melihat penampilannya hari ini. Kalung-kalung emasnya menjutai bak rantai yang membelit di lehernya dan pantulan sinar dari gelang-gelangnya, lalu baju seksi mini setengah paha dan belahan dada yang hampir telihat, di balut dengan jaket rajutan tipis yang tembus pandang, lalu lukisan di kelopak matanya mengalihkan duniaku, aku terjatuh ke dunia baru itu, bukan ke dunia yang lebih indah ketika waktu aku jatuh cinta ke dia, tapi ke dunia yang benar-benar asing dan horor, dunia lain. Aku sedikit merasakan aura lain yang berbeda dengan aura Mumun yang dulu. 

“Sekarang kamu kerja apa?”, dia bertanya santai. 

Aku berasa seperti baru ada peluru yang melewati kepalaku. Pertanyaan yang selalu ditanyakan teman-temanku yang sudah sukses dan balik ke kampung. 

“Lagi gak kerja, Mun, eh… Marta.”, untuk kedua kalinya aku terlihat bodoh, dan pengangguran. Percakapan ini berubah menjadi canggung karena sikapku sendiri yang sama sekali tidak mencoba menbuka percakapan. 

Dia lalu mengeluarkan uang dari dompet merahnya yang besar lalu membayar belanjaan sayurnya. 

“Ya udah ya, aku ke sana dulu.”, senyumnya mengakhiri perbincangan singkat, dia berlenggok pergi, meninggalkan senyum yang sama sekali tidak ku kenal seperti senyum Mumun yang dulu. 

Dia baru saja pulang dari kota, dan semua orang desa membicarakannya. 

Tragis sekali hidupnya. Mumun di kirim oleh orangtua-nya untuk kerja ke Jakarta dan bekerja menjadi pembantu rumah tangga, tapi yang menjadi pembicaran orang desa bukan itu, ada yang lain. Akhirnya, dia dijual oleh majikannya sendiri, ke sebuah tempat pelacuran terbesar di kota Jakarta, lalu salah satu orang desa ada yang melihat Mumun menawarkan dirinya di pinggir jalan. Awalnya Mumun tidak mengaku namanya sendiri, tapi orang desa itu dengan cerdasnya secara sembunyi-sembunyi kembali dan memfoto wajah Mumun. Benar saja, itu Mumun. Tapi anehnya, orangtua-nya tidak marah atau terlihat sedih, dan warga desa yang khawatir mulai membicarakn topik ini sampai sekarang, padahal kejadian itu sudah 7 tahun yang lalu. 

Sejak itu namanya diganti jadi Marta, dari KTP hingga Kartu Keluarga, alasannya sederhana: untuk kelancaran pekerjaannya di Jakarta. Mungkin memang benar, dia sukses dengan pekerjaannya.  

Dia sekarang kaya. 

Berliannya dimana-mana, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Penampilannya tidak sesederhana dulu, dari pita merah di kepalanya berubah menjadi sepatu mengkilat bak sepatu kaca Cinderella. 

Sepatu kaca yang menyimpan nasib miris seorang Mumun, perjalanan yang berat bagi seorang perempuan untuk menjadi seorang wanita dewasa, seorang Cinderella yang diidam-idamkan banyak pria. 

Dia bukan lagi Mumun yang aku cinta, dia Marta. 

Cinderella yang bersinar di kegelapan penuh dengan dosa, dan baru saja pulang dari kota. 

Selamat datang kembali, Mun. 

Eh, maksudku Marta. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Aku menari dengan rintikan hujan kala itu. Melebur menjadi satu dengan air yang turun dari langit abu-abu. Kegelisahanku kulupakan, berdansa mengiringi alur irama rintikan demi rintikan yang jatuh ke tanah. Memegang kedua tanganmu, memelukmu dan bersumpah jika esok dan seterusnya kita akan selalu bersama. 

Senyumku tak berhenti, membayangkan kenangan indah ketika berdua bersamamu. 

Kala itu, tanganmu menyentuh wajahku yang basah, aku melihatmu menatapku dengan kedua matamu yang tulus. Kecupan dan hujan, merayakan kemenangan jatuh cinta dan cita tak terucap yang ada di dalam hati. Bukankah itu momen terindah dalam hidupmu, Cinta? Atau awal dari kisah perpisahan kita? 

Hari ini hujan, aku hanya bisa duduk di meja dekat jendela gedung kantor. Menatap gumpalan abu-abu membasahi kota ini, memberikan harapan dan takdir untuk mereka yang sedang berbahagia dan untuk mereka yang sedang merana. Kulipat lagi, kenangan demi kenangan di buku kecilku bersamamu. 

Dia memegang tanganku erat, mengajakku berlari menyusuri jalan-jalan kecil di kota ini. Dia berlari, dan aku takkan berhenti mengikuti, aku betah melihat wajahmu tertawa. Dia berteriak lega di ujung jalan, diikuti tertawamu yang takkan pernah bisa kuhapus dari memori. Aku memeluknya, hingga hujan berubah menjadi gerimis. Dan malam itu, diakhiri dengan kecupan kecil di ujung gang. 

Aku menghembuskan napas, bersandar pada kursi, mengalihkan pandangan ke titik kosong di awan. 

Hari itu, adalah hari terakhir aku bisa melihatmu. Tidak ada lagi kabar darimu, dan manusia bodoh ini hanya bisa berharap dia memberiku kabar dimana dia dan orang tuanya berada. Muda dan jatuh cinta, sekaligus merana, hingga saatnya ku tahu jika hari itu adalah hari terakhirmu di bumi. 

Belum ada seorang yang bisa membuatku jatuh cinta seperti kala itu, denganmu, mungkin hanya dia satu-satunya orang yang bisa membuatku benar-benar jatuh hati. Wajah-wajah yang datang dan pergi, namun perasaan menginginkanmu masih belum berhenti. 

Tidak ada momen yang membuatku menangis kehilanganmu, namun ada sisi lain dari diri ini yang merana menunggu penggantimu. Tawamu, kecupmu, dan hujan di bulan November. Apakah waktu bisa membawaku kembali? 

Untukku kala itu, yang terlalu jatuh cinta, hingga lupa untuk kembali merasakannya. Tidak ada cara lain lagi selain merelakannya pergi, dan menerima nasibku yang akan selalu sendiri. Hingga kita berdua dipertemukan kembali di surga.  

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Kadang-kadang, ada yang aneh dengan saya. Ah, nggak cuma 'kadang', tapi setiap kali saya melamun atau tidak melakukan aktifitas, saya selalu menganggap diri saya ini sudah tua dan malas sekali. Saya tidak tau, apakah itu normal atau sebaliknya, dan apakah orang-orang seumuran saya juga merasakan hal yang sama.

Saya sudah diujung rambut jika memikirkan tentang betapa 'kemalasan' saya menyerang pemikiran saya dengan cacian kemalasan seperti: 'kamu itu belum berhasil!', dan cacian dari diri saya ini sering sekali bikin down atau kadang menjadikan saya pesimis untuk memikirkan tujuan berikutnya.

Siapapun kalian di sana, yang memiliki keresahan yang sama, selamat datang.... kalian menemukan teman se-resah bersama 😅

Apakah keresahan ini adalah hasil dari tuntutan-tuntutan yang sebelumnya? Seperti... kita dituntut untuk pintar, kita dituntut untuk lulus sekolah, kita dituntut untuk berpenampilan baik. Well, setelah semuanya... apa lagi? ya kan? Apakah kita harus menerima tuntutan baru agar kita bisa keluar dari situasi 'resah' ini? Jika iya... siapa lagi yang memberikan tuntutan?

Banyak sekali, orang-orang atau teman-teman di sekitar saya, yang sudah melampaui tahap di mana saya sendiri tidak pernah memikirkan akan sampai di sana. Ada yang sudah bekerja, ada yang sudah menikah.... tapi, apakah mereka bahagia di tahap itu? Atau hanya sekedar terpaksa karena tuntutan belaka?

Tapi juga, apakah mungkin keresahan ini adalah hasil dari trauma-trauma yang sebelumnya pernah saya rasakan? Seperti perpisahan atau penghianatan. Bisa saja rasa kecewa ketika ekspetasi kepada satu orang tidak berbuah seperti yang kita harapkan? Hm... Mungkin.


Sekarang pikiran saya makin melebar, dan jujur saja, saya tidak punya kata-kata bijak untuk masalah ini. Karena, saya sendiri berada di tahap 'resah' ini.

Senang sekali bisa berbagi dengan kalian. Saya paham, kamu tidak merespon karena tidak mau terlibat dengan ini. At least, saya bisa berbagi perasaan resah ini dengan kalian. Semoga tulisan ini tidak menghambat aktifitasmu atau menghambat kebahagiaanmu.

See u!

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Older Posts

Welcome


Halo!

Dengan mimpi dan senyum,

Selamat membaca!

- Rahmad

Ikuti saya

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
Facebook Twitter Instagram
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with ThemeXpose